KAP TAMBUNAN & NASAFI
Apakah Perusahaan Saya Harus Mengikuti Ketentuan Dalam PSAK 73 SEWA?

Apakah Perusahaan Saya harus menerapkan ketentuan dalam PSAK 73 Sewa?

Tidak harus, jika kontrak sewa yang Perusahaan kamu miliki memenuhi kondisi berikut ini:

  1. Sewa Tersebut Berjangka Pendek
    Yang dimaksud jangka pendek disini adalah 12 bulan atau lebih singkat dari itu.
  2. Sewa atas Aset yang Bernilai Rendah
    Yang dimaksud aset bernilai rendah sebagaimana pedoman penerapan adalah hanya jika nilainya lebih rendah daripada nilai mobil baru, contohnya PC, furnitur kantor yang ringkas dan telepon.
Menghitung Kerugian Kredit Ekspektasian (ECL) untuk Piutang Usaha berdasarkan PSAK 71 – Instrumen Keuangan

Dengan mulai berlakunya PSAK 71 – Instrumen Keuangan di Indonesia untuk tahun buku yang dimulai pada 1 Januari 2020, adalah suatu tantangan tersendiri bagi seluruh akuntan di Indonesia. Satu hal yang perlu diingat bahwa PSAK 71 bukanlah suatu PSAK yang hanya berlaku untuk industri Perbankan atau Industri Keuangan Non Bank saja, namun berlaku juga untuk seluruh jenis industri sepanjang entitas tersebut memiliki instrumen keuangan dalam laporan keuangannya.

Sehingga jika perusahaan Saudara misalkan hanya perusahaan jasa dimana instrument keuangan yang dimiliki hanya berupa akun Kas dan Bank serta Piutang Usaha, maka untuk akun piutang usaha tersebut Saudara harus menerapkan ketentuan PSAK 71, terutama terkait ketentuan penentuan kerugian kredit ekspektasian.

Lalu muncul pertanyaan, apakah piutang usaha dari perusahaan jasa yang tadi disebutkan diatas harus dihitung kerugian kredit ekspektasiannya dengan menggunakan pendekatan umum? Berdasarkan PSAK 71, jawabannya tidak selalu harus. PSAK 71 Par. 5.1.15 entitas diperbolehkan menggunakan pendekatan yang disederhanakan untuk menghitung nilai kerugian kredit ekspektasian.

Salah satu pendekatan yang disederhakan adalah dengan menggunakan matriks pencadangan. Sebagai contoh tingkat persentase pencadangan yang didasarkan pada jumlah hari tunggakan (misalnya 1% untuk setiap piutang usaha yang belum jatuh tempo/tertunggak, 5% untuk setiap piutang usaha yang telah jatuh tempo/ tertunggak sampai dengan 30 hari, dan seterusnya).

Dalam menyusun matriks pencadangan, entitas perlu untuk melakukan pengelompokan piutang usahanya kedalam beberapa kelompok konsumen berdasarkan kesemaan karakter risiko atau pola kerugian untuk memudahkan dalam melakukan pemodelan. Sebagai contoh pengelompokan dapat dilakukan berdasarkan pada area geografis, tipe produk, tingkat kesehatan konsument (credit rating/risk) berdasarkan informasi di masa lalu, atau tipe konsumen (retail atau corporate) dan hal lainnya yang dipandang dapat memberikan pengelompokan yang lebih sesuai oleh entitas.

Dalam praktiknya sebelum penerapan PSAK 71, sudah banyak entitas yang telah memiliki matriks pencadangan. Namun demikian untuk dapat memenuhi persyaratan dalam PSAK 71, entitas perlu untuk mempertimbangkan bagaimana informasi terkini dan informasi yang bersifat forward-looking mempengaruhi nilai pada matriks pencadangan.

Jika Saudara membutuhkan konsultasi terkait penerapan matriks pencadangan untuk piutang usaha sesuai dengan PSAK 71, silahkan mengirimkan e-mail permintaan kepada marketing@kaptnn.com.

Perlakuan Akuntansi Hak Atas Tanah di Indonesia Pasca dicabutnya ISAK 25: Hak Atas Tanah

Dengan akan berlakunya PSAK 73: Sewa pada 1 Januari 2020, berarti juga tidak akan berlakunya lagi ketentuan dalam ISAK 25: Hak Atas Tanah karena implementasi IFRS 16 menjadi PSAK 73 di Indonesia mencabut ketentuan ISAK 25.

Lalu bagaimana perlakuan akuntansi untuk sewa atas tanah jika ISAK 25 dicabut?, apakah itu berarti bahwa seluruh sewa atas tanah harus diakui menggunakan PSAK 73?

Untuk menjawab hal ini kita harus membuka dasar kesimpulan yang disampaikan oleh DSAK IAI pada saat mencabut ketentuan dalam ISAK 25 di Indonesia yang tersedia pada paragraf DK02 – DK10.

Perlu diketahui bahwa ISAK 25 dulunya dimaksudkan untuk mengatur perlakuan akuntansi tanah yang dimiliki oleh entitas dalam bentuk hak atas tanah yang bersifat sekunder seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai. ISAK 25 diterbitkan supaya terdapat keseragaman perlakuan akuntansi atas tanah di Indonesia.

Lalu standar akuntansi apa yang dipakai ketika terdapat suat kontrak yang tidak mengalihkan hak atas tanah, apakah transaksi sewa atau transaksi pembelian tanah? Ketika itu adalah transaksi sewa maka harus dicatat dengan menggunakan PSAK 73, ketika itu pembelian tanah maka pembeli mencatat dengan menggunakan PSAK 16.

DSAK IAI mencermati bahwa beralihnya pengendalian atas aset pendasar menjadi pertimbangan utama dalam menentukan apakah transaksi tersebut merupakan pembelian aset tetap, atau merupakan transaksi sewa. Basis for Conclusion IFRS 16 Paragraf 139(b) secara spesifik telah mengecualikan indikator beralihnya hak kepemilikan legal atas aset dalam membedakan apakah suatu transaksi merupakan transaksi sewa atau pembelian aset tetap.

Dalam hal pola fakta untuk hak atas tanah yang bersifat sekunder, seperti misalnya Hak Guna Bangunan (HGB), DSAK IAI mencermati indikasi yang kuat bahwa risiko dan manfaat secara substansial telah dialihkan kepada entitas yang memiliki hak tersebut. Dalam hal ini maka transaksi atas tanah dengan status HGB secara substansi menyerupai pembelian tanah, meskipun hak kepemilkan legal tidak berpindah kepada entitas, sehingga untuk pencatatannya menggunakan PSAK 16.

Namun demikian dalam kondisi transaksi tanah yang statusnya Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak Pengelolaan (HPL), entitas harus menerapkan perlakuan akuntansi atas transaksi sewa yang diatur dalam PSAK 73. Hal ini terjadi karena entitas tidak memiliki kemampuan untuk mengarahkan penggunaan aset pendasar dan tidak memperoleh secara substansial seluruh sisa manfaat dari aset pendasar tersebut.

Daftar Pustaka: Ikatan Akuntansi Indonsia. PSAK 73: Sewa

Perbedaan antara Skema Gross Split dan Cost Recovery pada Kontrak Migas

Sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 8 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split. Berikut adalah definisi dan perbedaan dari kedua metode tersebut.

Skema Gross Split: adalah skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas yang diperhitungkan di muka. Dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor.

Skema Cost Recovery: adalah pengembalian biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor migas selama cadangan belum ditemukan hingga diproduksi secara komersial. Bagi hasil atau split baru dibagi setelah penerimaan dipotong first tranche petroleum (FTP), pajak penghasilan dan biaya yang dikembalikan.

Perbandingan Cost Recovery dengan Gross Split

Cost RecoveryGross Split
Cost Recovery Menjadi Beban Pemerintah (Biaya operasi yang pada awalnya dikeluarkan oleh kontraktor, pada akhirnya menjadi tanggungan pemerintah (cost recovery)Biaya operasi Menjadi Beban Kontraktor
Cost Recovery Tidak Efisien (Karena pada akhirnya ditanggung pemerintah)Kontraktor Secara Alami Akan Melakukan Penghematan
Penerimaan Migas Negara menjadi kurang pasti dikarenakan adanya proses perhitungan dan persetujuan ada cost recovery yang akan dibebankanPenerimaan Migas Negara Lebih Pasti (Karena tidak berpengaruh oleh besarnya cost recovery).
Persetujuan Cost Recovery Rumit dan PanjangBirokrasi Lebih Efisien dan Sederhana (Karena tidak ada proses persetujuan cost recovery oleh pemerintah)

Disusun dan disarikan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Riset Kontan.

Pedoman Perlakuan Akuntansi Produk Investasi Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif

Pada tanggal 8 Juli 2020, OJK mengeluarkan Pedoman Perlakuan Akuntansi Produk Investasi Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif melalui Surat Edaran OJK No. 14/SEOJK.04/2020. Berdasarkan pengamatan pribadi saya pedoman perlakuan akuntansi ini sudah sejalan dengan PSAK 71, 72 dan 73 setidaknya dalam hal penamaan dan pengklasifikasian akun-akunnya. Namun jangan berharap akan menemukan panduan menghitung CKPN untuk aset yang dicatat pada Biaya Perolehan Diamortisasi, karena pedoman perlakuan akuntansi memang tidak akan pernah membahas sedalam itu.

Silahkan kunjungi link untuk download langsung pedoman dimaksud dari website OJK atau kunjungi link berikut untuk mendapatkan versi yang telah terdapat bookmarknya untuk memudahkan dalam membaca: https://1drv.ms/b/s!An_Q5ZNERcGAguxMJYr40QzJUTWhmA?e=wNts9B

Sebagai seorang Akuntan, biasanya kita memerlukan pemahaman dari suatu transaksi terlebih dahulu sebelum menerapkan ketentuan akuntansinya berdasarkan standar yang ada. Maka rasanya perlu untuk kita bahas dan berikan sedikit ilustrasi transaksi dari salah satu variasi bentuk dari Kontrak Investasi Kolektif yang cukup populer yaitu Kontrak Investasi Kolektif – Efek Beragun Aset (KIK EBA).

KIK-EBA adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Efek Beragun Aset dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. 

Sementara, Efek Beragun Aset adalah Efek yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk KPR (Kredit Pemilikan Rumah/KPR atau apartemen), Efek bersifat hutang yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement) /Arus Kas (Cash Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut. (sumber www.ojk.go.id)

Berikut adalah contoh ilustratif dari transaksi KIK-EBA dari produk KIK-EBA JSMR01.

Sumber: Danareksa Investment Management dan Mandiri Sekuritas.